Analisis Terhadap Kualitas Matan Hadis

undefined undefined

A.    
            Penelitian matan hadis berbeda dengan penelitian terhadap sanad hadis kendati penelitian sanad harus dilakukan terlebih dahulu. Demikian juga terhadap kriteria dan cara penilaian terhadapnya berbeda. Istilah yang digunakan dalam menilai suatu matan apabila diterima atau ditolak adalah maqbūl dan mardūd. Kedua istilah tersebut digunakan ulama hadis dalam menilai matan suatu hadis. Hal tersebut berbeda dengan hasil penilaian atas sanad hadis yang dapat dikalsifikasikan menjadi tiga macam yaitu, sahih, hasan, dan daif.[1]
            Terkait dengan kajian matan hadis tentang perpecahan umat Islam, maka yang akan penulis teliti adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dari Jalur Abū Dāud dan juga hadis ‘Auf bin Mālik melalui jalurnya Ibnu Mājah yang kedudukannya adalah sebagai syahid dari hadis Abū Dāud.  Ada dua hal yang penting untuk dikaji, diantaranya adalah:
a.      Kajian Leksikal
Redaksi hadis tentang perpecahan umat Islam tersebut, dapat dipahami dengan terlebih dahulu memahami makna leksikal beberapa kata kunci (key word) yang menyusun hadis tersebut menjadi sebuah redaksi. Setidaknya ada beberapa kata yang dapat dieksplorasi makna leksikalnya, yaitu Iftaraqa, al-Ummah, dan ‘Alā Ṡalātsin wa Sab’īna Firqah yang terdapat dalam hadis Abū Hurairah dan juga redaksi tambahan kata al-Jamā’ah dalam hadis ‘Auf bin Mālik.
1.      Iftaraqa.
            Di dalam Kamus al-Munawwir kata Iftaraqa, yaftariqu, iftirāqan itu berarti terpisah-pisah atau bercerai-berai. Antonimnya adalah ijtama’a, yajtami’u yang berarti berkumpul atau berhimpun.[2] Faraqa itu untuk hal baik sedangkan tafarraqa itu untuk kerusakan.[3] Penjelasan mengenai iftirāq sudah penulis jelaskan panjang lebar pada bab kedua.

2.      Al-Ummah
            Terminologi ummah dalam konteks keindonesiaan, merupakan istilah yang cukup popular, kendati secara genetik-linguistik, kata ini merupakan bagian dari hasanah bahasa Arab. Kata ummah atau ketika diindonesiakan menjadi ummat. Dalam persfektik keindonesiaan, identik dengan makna rakyat atau masyarakat. Namun dalam aplikasinya, istilah ummah ini senantiasa merujuk kepada umat beragama (religious community), seperti ummat Islam, umat Kristen dan lain sebagainya. Dalam al-Qur’an, istilah ini disebut sebanyak 64 kali dalam 24 surat dengan konteks yang berbeda satu sama lain.[4]
            Jika dilacak dalam kamus-kamus bahasa Arab, istilah ummah juga memiliki kandungan makna yang tidak jauh berbeda. Ibnu Mansur di dalam kamus lisaan al-‘Arab mengartikan ummah sebagai al-Qarn min al-nās (periode tertentu dari manusia). Kalimat yang berbunyi seperti qad’ madat umam dapat diartikan, dahulu telah terdapat ummat-ummat. Kata ummat ini juga sering dinisbatkan pada Nabi, seperti Nabi Muhammad, ummat nabi Musa dan lain sebagainya.[5] Dawan Rahardjo memaknai kata ummat dengan bermacam-macam makna, seperti bangsa (union), masyarakat (community), agama (religious), komunitas beragama (religious community), waktu (time), jagka waktu (term), juga pemimpin atau sinonim dari imam.[6] Sedangkan Ali Syariati mendefinisikan kata ummah sebagai berasal dari amma yang berarti “berniat” atau “bertujuan”. Ini berkaitan erat dengan kata amām yang berarti “di muka” sebagai lawan dari kata wara’ atau khalf yang berarti “di belakang”. Berangkat dari itu melahirkan tiga makna sebagai derivasi dari kata tersebut, yaitu gerakan, tujuan, dan ketetapan kesadaran. Dalam kata amma terkandung empat makna lagi, yaitu ikhtiar, gerakan, keagamaan, dan tujuan.



3.      Al-Jama’ah.
            Di dalam kitab Lisan al-Arab, al-Jamā’ah itu berasal dari kata jama’a, yajma’u, masdarnya jam’an. Al’jam’u itu artinya ismun li al-jama’ati al-nāsi (nama sekumpulan manusia).  Antononimnya adalah al-Farqu. Sedangkan di dalam kamus al-Munawwir (209) berarti al-Zumrat (kelompok, kumpulan, sekawanan). Jika berbicara masalah al-Jama’ah, maka selalu dihubungkan dengan Ahlu Sunnah wa al-Jamā’ah. Menurut Dr. Yusuf al-Qaradawi di dalam kitabGerakan Islam Antara Perbedaan yang Diperbolehkan dan Perpecahan yang Dilarang” Ahlu Sunnah wal Jama’ah adalah suatu istilah, berbentuk dari kata majmu’ yang terdiri dari kata : ahlun, sunnah, dan jama’ah. Dari segi bahasa dapat dijelaskan sebagai berikut:
Ø  Ahlun itu berarti pengikut, pendukung, atau warga.
Ø  As-Sunnah, searti dengan At-Ṭarīqh dan dimaksudkan pula sebagai al-Hadīts, yakni jalan berakidah dan beramal sesuai yang diajarkan oleh Nabi saw dan diteruskan oleh para sahabat dan tabi’in.
Ø  Al-Jama’ah, pandangan mayoritas masyarakat Islam (Assawādul A’zam)
            Dengan batasan sederhana Ahlu Sunnah wa al-Jamā’ah dapat diberi pengertian sebagai warga atau pengikut semua yang diajarkan oleh Rasulullah saw dan golongan sahabatnya, ajaran mana yang terbukti menjadi faham mayoritas umat Islam.[7]
4.      ‘Alā Ṡalātsin wa Sab’īna Firqah
            Secara harfiyah lafal “‘alā ṡalatin wa sab’īna firqah” itu berarti 73 golongan. Makna inilah yang dipahami oleh kebanyakan orang. Namun ada juga pendapat yang menarik yang dipaparkan oleh Luthfi Bashori. Menurut dia perlu dipahami bahwa penyebutan suatu bilangan dalam jumlah besar dalam Bahasa Arab itu, tidak tentu harus dimaknai sesuai jumlah nominal bilangan yang disebut, tapi adakalanya penyebutan 71, 72 dan 73 itu hanyalah pertanda jumlahnya cukup besar atau yang berarti jamak (istilah bahasa Arabnya: yadullu `alal katsrah = menunjukkan arti jamak/banyak). Untuk menjustifikasi pemahaman bahwa penyebutan `bilangan dalam jumlah besar` hanyalah menunjukkan arti jamak/banyak`, misalnya dalam konteks keindonesiaan, adanya istilah: Celaka 13.
            Adapun arti celaka `tiga belas` sesuai gramatikal Indonesia adalah : ``sungguh-sungguh sangat dan amat celaka...!``. Bukan lantas diartikan : Kecelakaan 13 x, karena disesuaikan dengan jumlah nominal bilangan yang disebut.[8]

b.      Kajian Konfirmatif
            Kajian konfirmatif merupakan kajian yang menfokuskan diri pada sejauh mana posisi hadis tersebut dalam konteks akal sehat (logika masyarakat), dan dalam konteks dalil-dalil yang lain yang sudah qat’i. adapun tolak ukur dalam penelitian terhadap matan hadis cukup beragam. Antara lain disebutkan dalam matan sebuah hadis  dinyatakan maqbul sahih apabila:
1.      Tidak bertentangan dengan akal sehat.
2.      Tidak bertentangan dengan hukum al-Qur’an yang telah muhkam.
3.      Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir.
4.      Tidak bertentangan dengan amalan ulama salaf.
5.      Tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti.
6.      Tidak bertentangan dengan degan hadis ahad yang kualitas kesahihannya lebih kuat[9]
            Mengenai hadis tentang terpecahnya umat Islam menjadi 73 golongan yang diriwayatkan oleh Abū Dāud melalui jalur sanad Abu Hurairah, dalam penelitian matan ini dapat disimpukan dengan melihat barometer yang telah diterapkan oleh Jumhur Ulama hadis, penulis hanya akan membahas pertentangan yang penulis temukan. Pertentangan itu adalah sebagai berikut:
            Pertama, tidak bertentangan dengan akal sehat. Adanya perpecahan umat itu tidak bisa kita nafikan, namun yang menjadi masalah adalah di dalam hadis tersebut disebutkan jumlah golongan yang terpecah namun tidak menjelaskan firqah mana saja yang terpecah menjadi 73 golongan itu. Ini yang sulit diterima, karena bisa menimbulkan klaim-klaim kelompok tertentu yang mengaku sebagai satu-satuya firqah yang selamat dan firqah selainnya otomatis masuk neraka.  Kita tidak bisa memaksakan pendapat untuk memperinci satu persatu golongan yang terpecah itu karena memang tidak ada sumber yang dapat dipercaya menjelaskan hal tersebut. Berita tentang terpecahnya Yahudi dan Nasrani menjadi lebih 70 firqah tidak dikenal dalam sejarah kedua agama tersebut. Terutama agama Yahudi. Tidak pernah didapati bahwa firqah mereka mencapai jumlah seperti itu.[10]
            Namun hal ini dapat dikompromikan dengan mengatakan bahwa beberapa firqah ini memang dulunya pernah ada, kemudian ia dikalahkan oleh kebenaran, maka ia pun lenyap dan tidak kembali lagi selamanya. Inilah secara nyata terjadi pada banyak firqah yang menyimpang. Sebagiannya telah binasa dan tidak ada pernah lagi. [11]
            Kedua, tidak bertentangan dengan hukum al-Qur’an yang telah muhkam. Dalam matan hadis ini terdapat problem dari segi bahwa umat yang oleh Allah swt disiapkan untuk menjadi saksi bagi seluruh umat manusia dan yang disifati sebagai umat yang terbaik yang pernah dilahirkan bagi umat manusia sebagaimana di dalam surah Ali Imran ayat 110 yang berbunyi:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ.
Artinya; Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
            Akan tetapi, dalam hadis tersebut diungkapkan umat Islam itu lebih buruk dari pada orang Yahudi dan Nasrani dalam masalah perpecahan dan perbedaan antar sesama, sehingga perpecahan mereka melebihi perpecahan Yahudi dan Nasrani. Meskipun di dalam al-Qur’an dijelaskan tentang kondisi Yahudi seperti dalam surah Al-Maidah ayat 64:
….وَأَلْقَيْنَا بَيْنَهُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ كُلَّمَا أَوْقَدُوا نَارًا لِلْحَرْبِ أَطْفَأَهَا اللَّهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ.
Artinya:…..dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan Allah memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan dimuka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan.
dan tentang Kaum Nasrani seperti di dalam surah Al-Maidah ayat 14:
وَمِنَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّا نَصَارَى أَخَذْنَا مِيثَاقَهُمْ فَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ فَأَغْرَيْنَا بَيْنَهُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَسَوْفَ يُنَبِّئُهُمُ اللَّهُ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ.
Artinya: Dan diantara orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya kami ini orang-orang Nasrani", ada yang telah kami ambil perjanjian mereka, tetapi mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya; maka Kami timbulkan di antara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat. Dan kelak Allah akan memberitakan kepada mereka apa yang mereka kerjakan.
            Namun di dalam al-Qur’an tidak ditemukan ayat yang memperinci jumlah umat Rasulullah yang terpecah belah juga tidak ada yang menjelaskan tidak adanya perpecahan perpecahan umat Rasulullah. Yang banyak justru ayat-ayat sebaliknya yaitu ayat yang memperingatkan umat agar tidak berpecah belah dan berselisih. Contohnya adalah di dalam surah Ali Imran ayat 103 yang berbunyi:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ.
Artinya: Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.
Juga di dalam surah Al-An’am ayat 153 yang berbunyi:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ.
Artinya:  Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.
Dan masih banyak lagi ayat yang memerintahkan untuk bersatu dan membenci perpecahan[12]. Dengan demikian, matan hadis tersebut ada pertentagannya dengan ayat-ayat al-Qur’an.

            Ketiga, tidak bertentangan dengan dengan hadis ahad yang kualitas kesahihannya lebih kuat, di sini penulis menemukan beberapa hadis yang sangat menganjurkan adanya persatuan di antara kaum Muslimin yang tentunya tampak adanya pertentangan dengan semangat hadis yang diriwayatkan oleh Abū Dāud. Di antaranya adalah:
عن أبي موسى : عن النبي صلى الله عليه و سلم قال ( المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا ) . ثم شبك بين أصابعه.
Artinya: Dari Abu Musa, dari Nabi SAW telah bersabda, “Orang mukmin terhadap orang mukmin lainnya ibarat bangunan; bagian yang satu memperkokoh terhadap bagian lainnya sambil bertelekan (menjalinkan jari-jari tangannya).” (H.R. Bukhari, Muslim, dan Ahmad).

            Hadis Nabi tersebut mengemukakan permisalan bagi orang-orang yang beriman sebagai bangunan. permisalan tersebut sangat logis dan berlaku tanpa terikat oleh waktu dan tempat sebab setiap bangunan pastilah bagian-bagiannya berfungsi memperkokoh bagian-bagian lainnya. Demikian pula seharusnya orang-orang yang beriman, yang satu memperkokoh yang lainnya dan tidak berusaha untuk saling menjatuhkan apalagi mengakui hanya kelompoknya saja yang selamat.
ألْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ.

Artinya:“Muslim adalah saudara muslim yang lain, dia tidak boleh menzhaliminya, membiarkannya (dalam kesusahan), dan merendahkannya. Takwa itu di sini, -beliau menunjuk dadanya tiga kali- cukuplah keburukan bagi seseorang, jika dia merendahkan saudaranya seorang muslim. Setiap orang muslim terhadap muslim yang lain haram: darahnya, hartanya, dan kehormatannya” (HR Muslim no. 2564; dan lainnya dari Abū Hurairah).

F.  Komentar Para Ulama Mengenai Hadis Ini:
1. Al-Tirmīżī di dalam kitab sunannya mengatakan: Hadisnya Abū Hurairah adalah Hasan sahih[13]
2. Al-Bāni ketika mentahqīk Sunan Ibnu Mājah mengatakan: Hadis tersebut hasan sahih.[14]
3. Al-Hākim di dalam kitab Mustadraknya mengatakan: Ini hadis hasan sahih, Bukhari Muslim tidak meriwayatkannya, dan mempunyai Syawahid.[15]
4. Syu’aīb al-Arnauṭ ketika mentahqīk kitab sunan Ibnu Mājah mengatakan: Hadis ini hadis Hasan.[16]
5. Abu Sulaiman al-Khaṭābi Rahimahullah berkata: hadis tersebut menjadi petunjuk bagi terpecahnya umat ini tapi tidak sampai keluar dari agama (Islam), karena Nabi saw masih menjadikan semua (umat yang terpecah) sebagai Umatnya.[17]
6. Dr. Yusuf al-Qaraḍawi ketika ditanya mengenai hadits-hadits tafrīq menjelaskan mengenai nilai ilmiah hadis tersebut, dan beliau menjelaskan pula beberapa pendapat ulama mengenai status kesahihan dan pengertian yang dikandungnya di antaranya adalah:
            Yang perlu diketahui pertama kali adalah hadis ini tidak tercatat dalam Sahih Bukhari maupun Sahih Muslim. Padahal, isinya amat penting yang menunjukkan bahwa hadits ini dilihat tidak sahih menurut kedua syarat ulama tersebut. Adapun jika ada yang mengatakan bahwa sahih Bukhari dan Muslim tidak mencakup semua hadits sahih, hal itu benar adanya. Namun, keduanya amat menjaga agar tidak melewati suatu bab penting dari ajaran Islam sehingga keduanya berusaha sedapat mungkin untuk memasukkan suatu riwayat atau beberapa riwayat dalam masalah tersebut.
            Pertama,  beberapa riwayat hadits tidak menyebutkan bahwa semua firqah berada dalam neraka kecuali satu firqah, namun hanya menyebutkan perpecahan dan bilangan firqah saja.
            Kedua, meskipun hadits ini hasan-sahih dan dinilai sahih oleh Ibnu Hibbān dan Hākim, namun periwayatannya bertumpu pada Muhammad bin ‘Amr bin al-Qāmah bin Waqqāṣ al-Laitsi yang di dalam biografinya diragukan mutu hafalannya dan tidak seorang pun yang menilainya ṡiqah; penilaian para ulama terhadapnya hanyalah bahwa ia lebih unggul dibandingkan orang yang lebih lemah darinya. Oleh karena itu, al-Hāfiẓ Ibnu Hājar hanya memberikan penilaian seperti ini baginya dalam at-Taqrīb. Ia adalah orang yang jujur dan dia memiliki sedikit kelemahan ikatan. Jujur saja saya dalam masalah ini tidak mencukupi, selama tidak disertai dengan kecermatan. Maka bagaimana hanya jika dia hanya memiliki sedikit kelemahan ingatan?
            Seperti diketahui, Tirmīżī, Ibnu Hibbān, dan Hākim adalah kelompok ulama yang cenderung mempermudah dalam memberikan penilaian sahih kepada suatu hadits. Hākim dikatakan sebagai orang yang mudah memberikan syarat kesahihan hadis.
            Di sini, dia memberikan penilaian sahih kepada hadis ini dengan mengikuti syarat Muslim, dengan landasan bahwa Muhammad bin Amru adalah perawi yang dijadikan hujjah oleh muslim. Sementara, Adz-Dzahabi mengatakan bahwa Muhammad bin ‘Amr itu tidak bisa dijadikan hujjah jika dia sendirian, tapi baru bisa jika ia digabungkan dengan yang lain. Dengan catatan, hadis yang diriwayatkan oleh AbūHurairah ini tidak ada tambahan,”semuanya di neraka kecuali satu firqah,” yang padanya berkembang banyak perselisihan pendapat ulama dalam mengartikannya.
            Hadis dengan tambahan seperti ini, diriwayatkan dari jalan beberapa sahabat, seperti ‘Abdullah bin ‘Amr, Mu’awiyah, ‘Auf  bin Mālik, dan Anas. Semuanya adalah daif sanadnya dan baru kuat setelah digabungkan satu sama lain. Penguatan derajat hadis dengan banyaknya periwayatan hadis, tidaklah mutlak, terutama menurut ulama-ulama hadis terdahulu. Karena, betapa banyak hadits yang memiliki banyak riwayat, namun oleh mereka dinilai daif, seperti yang terlihat dalam kitab-kitab jarh dan ta’dīl serta kitab lainnya! Hadis semacam itu hanya diambil jika hanya ada nas lain yang bertentangan dengannya atau tidak ada masalah dalam maknanya.
            Sementara, dalam hadis ini terdapat masalah, yaitu masalah penilaian perpecahan umat menjadi lebih banyak dari perpecahan Yahudi dan Nasrani dari satu segi, dan bahwa firqah-firqah ini seluruhnya binasa dan masuk neraka kecuali hanya satu saja. Ini akan membuka pintu bagi klaim-klaim setiap firqah bahwa dialah firqah yang benar, sementara yang lain binasa. Hal ini tentunya akan memecah belah umat, mendorong mereka untuk saling cela satu sama lain, sehinnga akan melemahkan umat secara keseluruhan dan memperkuat musuhnya.
            Oleh karena itu, Ibnu Wazīr mencurigai hadis ini secara umum terutama pada tambahannya itu. Karena, hal itu akan membuat kepada penyesatan umat satu sama lain, bahkan membuat mereka saling mengkafirkan.
            Ia berkata dalam kitab al-‘Awaṣim wa al-Qawāṣim, saat ia berbicara tentang keutamaan umat ini dan memperingatkan agar berhati-hati dari saling mengkafirkan satu sama lain. Ia berkata,”Hendaklah anda hati-hati agar tidak terjebak dalam redaksi’ Semuanya binasa, kecuali satu firqah,’karena redaksi ini adalah hasil penambahan yang buruk, tidak sahih, dan tidak bisa dijamin kalau itu bukan susupan orang kafir!” Ia berkata,”Dari Ibnu Hazm bahwa hadis tersebut maudhu’, tidak mauquf juga tidak marfu’.
            Ketiga, beberapa ulama dahulu dan masa kini ada yang menolak hadits tersebut dari segi sanadnya, dan sebagian lagi menolak dari segi matan dan maknanya. Ini adalah Muhammad bin Hazm, yang menolak hadits yang mengafirkan kelompok lain sesama Islam karena perbedaan pendapat dalam masalah-masalah akidah. Dia mengatakan bahwa di antara dalil yang mereka jadikan sandaran dalam mengafirkan yang berbeda pendapat dalam masalah akidah adalah dua hadis Yang di sandarkan kepada Rasulullah. Kedua hadis tersebut adalah sebagai berikut.
“Kelompok Qadariah adalah Majusi umat Islam”
“Umat ini akan terpecah menjadi 70 firqah lebih. Semuanya berada di neraka kecuali satu, yang berada di surga.”
            Abū Muhammad berkata,”Dua hadis itu sama sekali tidak sahih dari jalan sanadnya. Jika suatu hadis seperti ini, ia tidak bisa menjadi hujjah menurut pihak yang berkata bahwa khabar ahad bisa dijadikan hujjah, maka kedudukannya menurut orang yang tidak berkata seperti itu?”
Ini dalah imam dari Yaman, yang mujtahid dan pembelah sunnah, yang menguasai ilmu rasional dan ilmu manqul, yakni imam Muhammad bin Ibrāhīm al-Wazīr (w.840 H), ia berkata dalam kitabnya hadis al-Awaṣim wa al-Qawāṣim, saat ia menceritakan hadis-hadis yang diceritakan oleh Mu’awiyah dan di antaranya adalah (hadis kedelapan) hadis terpecah belahnya umat ini menjadi lebih dari tujuh puluh firqah, semuanya masuk neraka, kecuali satu firqah. Ia berkata bahwa dalam sanadnya terhadap seorang Naṣībi yang riwayatnya tidak sahih. Al-Tirmīżi juga meriwayatkan seperti itu dari hadis ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Aṣ. Dan ia berkata bahwa hadits ini garīb. Dia menyebutkannya dalam bab al-Iman”, dari jalan periwayatannya seorang Afrika, namanya adalah ‘Abdullah bin Ziyād bin ‘Abdullah bin Yazīd.
            Ibnu Mājah meriwayatkan yang sejenis dari ‘Auf bin Mālik dan Anas. Menurutnya, hadis ini sama sekali tidak mencukupi syarat hadis sahih. Oleh karena itu, Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkan hadis ini sama sekali. Al-Tirmīżi menilai sahih, di antaranya adalah hadis Abū Hurairah dari jalur periwayatnya ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-Qāmah, dan di dalamnya tidak terdapat redaksi “semuanya di neraka kecuali satu firqah”. Ibnu Hazm berkata bahwa penambahan ini adalah mauḍū’ (palsu), hal itu dikatakan oleh pengarang kitab al-Badr al-Munīr
al-Hāfiẓ Ibnu Kaṡir mengatakan ketika ia menafsirkan firman Allah dalam surah al-An’am,”atau ia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebagian kamu keganasan sebagian yang lain,”terdapat dalam hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda:
“Umat Islam ini akan terpecah menjadi 73 firqah, semuanya berada di neraka kecuali satu”
            Ia (Ibnu Kaṡir) hanya mengatakan yang seperti itu, tanpa tambahan sedikit, dan tidak memberikan penilaian apakah hadits itu sahih atau hasan. Meskipun ia berbicara panjang lebar tentang ayat tersebut, dengan menyebut hadis-hadis dan riwayat-riwayat yang berkaitan dengannya.
            Imam al-Syaukāni menyebut pendapat Ibnu Kaṡir dalam hadis tersebut, ia berkata,”Tambahan redaksi’semuanya di neraka kecuali satu’telah dinilai daif oleh beberapa ulama hadis. Bahkan, Ibnu Hazm berkata bahwa itu adalah mauḍū’.” Namun demikian, hadits ini-meskipun dia dinilai sahih oleh beberapa ulama, seperti al-Hāfiẓ Ibnu Hājar dan dinilai sahih oleh sebagian yang lain seperti Ibnu Taimiyah dengan banyaknya jalan periwayatannya tidak menunjukkan bahwa perpecahan umat dalam bentuk seperti ini dan dengan bilangan seperti ini adalah suatu perkara yang selamanya terjadi hingga hari kiamat, untuk mendukung kebenaran hadits tersebut, cukup jika hal itu terjadi dalam rentang waktu saja.
            Beberapa firqah ini pernah ada kemudian ia dikalahkan oleh kebenaran, maka ia pun lenyap dan tidak kembali lagi selamanya. Inilah secara nyata terjadi pada banyak firqah yang menyimpang. Sebagiannya telah binasa dan tidak ada pernah lagi. Kemudian hadits ini menunjukkan adalah semua firqah ini adalah “bagian dari umat Muhammad saw,”. Artinya, umat yang memenuhi panggilan dakwah beliau dan dinisbatkan kepada Beliau, dengan dalil sabda Rasulullah saw.”Umatku akan terpecah belah.” Ini artinya meskipun suatu firqah itu bid’ah, namun ia tetap tidak keluar dari agama dan tidak terpisah dari tubuh umat Islam. Keberadaanya di “neraka”, tidak berarti dia kekal di dalamnya, seperi kekalnya orang kafir.         Namun, ia hanya masuk seperi masuknya orang melakukan maksiat. Mereka bisa saja mendapatkan syafā’at dari pihak yang berhak, mendapatkan syafā’at, seperti para nabi, malaikat, atau beberapa orang yang beriman. Atau pula, mereka memiliki amal kebaikan yang dapat menghapus kebaikan mereka, atau cobaan dan musibah yang pernah mereka alami sehingga menghapus keburukan mereka, atau cobaan dan musibah yang pernah mereka alami sehingga menghapuskan dosa mereka, atau mereka diselamatkan dari azab. Mereka bisa pula diberikan ampunan oleh Allah swt dengan semata kasih sayang-Nya. Terutama jika mereka berusaha untuk mengetahui kebenaran, namun mereka tidak beruntung sehingga salah dalam memilih jalan. Dan, Allah telah mengampuni umat ini atas perbuatan yang mereka lakukan karena kesalahan tak sengaja, kealpaan, dan karena dipaksa.[18]


                [1] Dr. Suriyadi, M.Ag, Drs. Agung Danarto, M.Ag, M. Al Fatih Suryadilaga, M.Ag, Metodologi penelitian Hadis, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm. 148.
                [2] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir (Surabaya, Pustaka Progresssif, 1997), hlm. 1050.
                [3] Ibnu Manẓur, Lisaan al-‘Arab.(Kairo: Daar al-Hadis, 1994), jilid I, hlm. 72.
                [4] Muhammad Fuad ‘Abd al-Baaqi, Mu’jam al-Mufahras li Alfaaz al-Qur’an, (Kairo Daar al-Hadis, 1988), hlm. 102.
                [5] Ibnu Manẓur, Lisaan al-‘Arab.(Beirut: Daar al-Fikr, 1994), jilid XII, hlm. 26-27.
                [6] M. Dawan Rahardjo, “Ensiklopedi al-Qur’an,” dalam Ulumul Qur’an, Nomor I, Volume III, Tahun 1992, hlm. 56.
                [7] DR. Yusuf Qaradhawi, Gerakan Islam, alih bahasa Anuar Rafiq Shaleh Tamhid, cet. Ke-IV (Jakarta: Rabbani Press, 1997), hlm. 7.
                [8] Luthfi Bashori (Ketua Komisi Hukum dan Fatwa MUI Kab. Malang) www.pejuangislam.com
                [9] Sebagaimana dikutip M. Syuhudi Ismail. Metodologi Penelitian Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 2007), hlm. 118.
                [10] Dr. Yusuf Qaradawi, Fatwa-Fatwa kontemporer , alih bahasa Abdul Hayyie, Al-Kattani, Masturi, Irham, Ahmad Ikhwani, Atik Fikri Ilyas, cet. Ke-III(Depok: Gema Insani, 2008), hlm. 119.
[11] Ibid. hlm. 121.
[12] Misalnya dalam surah (QS. Ali Imrân;105 ), (QS. Âli Imrân;19)
                [13] Abū ‘Īsa Muhammad bin ‘Īsa bin sūrah, Sunan al-Tirmidzi, Bab Ma ja’a fi iftiraqi al-ummati (Beirut: Maktabah al-Rusyd, t.t.), hlm. 595, no. 264
                [14]Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Riyadh: Maktabah al-Maarif linnasyri wa al-Tauzi’), hlm 659.
                [15]Abū‘Abdillāh Muhammd bin ‘Abdillāh al-Hāfiẓ, Mustadrak al-Hakim (Mesir: Dār al-Haramain li al-Ṭaba’ah wa al-Nasyri wa al-Tauzi’), jilid I, hlm. 206.
                [16] Ibnu Hibban, Sunan Ibnu Hibban, (Beirut: Muassasah al-Risalah),  jilid 14, hlm. 140.
                [17] Lihat Arsyiif Multaqaa Ahli al-Hadis, al-Maktabah al-Syamilah bab Tahqiiqu Hadiitsi Iftiraq al-Ummah, juz 42, hlm. 254. (http://www.ahlalhdeeth.com)
                [18]Dr. Yusuf Qaradawi, Fatwa-Fatwa kontemporer , alih bahasa Abdul Hayyie, Al-Kattani, Masturi, Irham, Ahmad Ikhwani, Atik Fikri Ilyas, cet. Ke-III (Depok: Gema Insani, 2008), hlm. 115-121.

posted under |

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Labels

Blogger Tricks

Diberdayakan oleh Blogger.

Ads 468x60px

Search

Featured Posts Coolbthemes

Blogger templates

Indonesian Freebie Web and Graphic Designer Resources

About Me

Foto Saya
el-fatihkamil
Mau makan untuk hidup atau hidup untuk makan aku tak peduli....yang jelas saya tidak makan orang.hehehehe^_^
Lihat profil lengkapku

Followers

Text Widget