WASIAT LUQMAN KEPADA ANAKNYA

            Pada rangkaian ayat surah Luqman, Allah swt mengabarkan tentang wasiat Luqman kepada anaknya, Luqman sendiri adalah putra ‘Anqa bin Sadun. Sedangkan menurut satu pendapat yang dikemukakan as-Suhaili, putera Luqman it bernama Tsaran.. Allah swt menyebutkan Luqman dengan sebutan yang sangat terpuji. Bahwasanya Allah telah menganugrahkan hikmah kepadanya. Allah menceritakan bahwa suatu saat Luqman membeir wasiat dan wejangan kepada anaknya, manusia yang paling ia cintai dan yang paling ia sayangi, serta manusia yang peling  berhak mendapatkan Ilmu pengetahuan dan nasehat darinya.
            Namanya (Luqman) diabadikan menjadi nama sebuah surat di dalam Al-Qur’an yaitu surat ke 31. Ia digambarkan sebagai laki-laki shalih yang memberikan untaian nasihat luhur kepada anaknya yang merupakan sosok manusia yang paling ia cintai dan paling ia sayangi daripada manusia yang lain. Sebagaimana diriwayatkan oleh Syu’bah dari al-Hakam dari Mujahid, ia berkata, “Luqman adalah seorang hamba yang shalih, namun ia bukan Nabi.[1]
Ada begitu banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari dari surah Luqman yang berupa nasehat kepada putranya, di antaranya ialah:
1.      Tidak menyekutukan Allah.
            Dosa yang paling besar di sisi Allah swt adalah dosa syirik dan kedzaliman yang sangat besar, dan pelakunya tidak akan diampuni kecuali bertaubat. Allah SWT berfirman:
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya: Wahai anakku! janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.(Q.S. Luqman:13)         
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                         
2. Berbuat baik kepada kedua orang tua.
Firman Allah SWT.
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
Artinya: Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.( QS.Luqman: 14)
Di dalam riwayat Bukhari, Rasulullah pernah ditanya oleh seorang sahabat:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ ، وَمُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ ، قَالاَ : حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ قَالَ : حَدَّثَنَا ابْنُ شِهَابٍ ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم سُئِلَ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ فَقَالَ إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ : الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ : حَجٌّ مَبْرُورٌ.
Artinya: Amalan apakah yang dicintai oleh Allah ?Beliau menjawab: Shalat pada waktunya, ia bertanya lagi: Kemudian Apa ?, Beliau menjawab: berbuat baik kepada orang tua, .Ia bertanya lagi: kemudian apa?, Belau menjawab: Jihad di jalan Allah” (Shahih Bukhari V/2227, hadits No.5625)

3. Ketaatan kepada kedua orang tua harus dilandasi oleh ketaatan kepada Allah; karena tidak boleh taat kepada keduanya dalam rangka berbuat maksiat kepada Allah, lebih-lebih menyekutukan Allah ( syirik ). Allah berfirman:
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Artinya: Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah kamu menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik. (QS. Luqman: 14).
            Berbuat bakti kepada kedua orang tua mempunyai kedudukan yag sangat istimewa dalam ajaran Islam karena begit banyak nas dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah telah dengan jelas memerintahkannya. Perintah Ihsan kepada ibu bapak diletakkan oleh Allah swt langsung sesudah perintah beribadah kepada-Nya semata-mata atau sesudah larangan mempersekutukannya.[2]Allah juga mewasiatkannya[3] serta meletakkan perintah berterima kasih kepada ibu bapak langsung setelah perintah berterima kasih kepada Allah.[4]Sebagai anak yang mempunyai rasa syukur akan kebaikan budi orang tua, hendaklah senantiasa memperbanyak doa kepada keduanya. Doanya di antara lain termaktub dalam surah al-Isra ayat 24 yang berbunyi:
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
Artinya: Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih saying dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.
            Kedua orang tua memiliki hak yang harus ditunaikan oleh anak-anaknya, yaitu dalam bentuk kebaikan, taat, dan penghormatan. Hal seperti itulah yang sejalan dengan fitrah dan tradisi sosial sehat[5]. Terlebih seorang ibu. dia yang telah menanggung beban kandungan, melahirkan, menyusui, dan merawat dengan berat.[6]

4. Mengikuti jalan orang-orang yang kembali kepada Allah SWT
Firman Allah SWT:
….. وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Artinya: Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.(QS. Luqman: 15)
Yang dimaksud jalan kembali kepadaku di sini adalah jalan orang-orang yang beriman.[7]
            Disini Luqman memberikan sebuah nasehat kepada anaknya agar ia mengikuti jejak orang-orang yang kembali kepada Allah SWT yaitu para nabi dan rasul serta orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, yang selalu bertaubat kepada Allah SWT, yang telah diberi Allah SWT hidayah, yaitu tetap dalam agama yang hanif yakni Islam.

5. Allah akan membalas semua perbuatan manusia.
Firman Allah swt :
يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ
Artinya: (Luqman berkata): “Hai anakku! Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan memberinya (balasan). Sesungguhnya Allah Mahahalus, Mahateliti.(Q.S: 16)
“Maka Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula”. (QS. Al Zalzalah: 7-8).

6. Menegakkan salat.
            Shalat adalah tiang agama, sehingga ia tidak akan tegak tanpa shalat. Maka sebagai seorang yang beriman kita diwajibkan menegakkannya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah Luqman ayat 17 yang berbunyi :
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ……
Artinya: “Hai anakku, dirikanlah shalat …”

Shalat dapat mencegah manusia dari perbuatan keji dan mungkar, sebagaimana firman Allah SWT.…”Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al ‘Ankabuut: 45)

7. Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
            Ada dua komponen penting dalam Islam yang memberikan sebuah dorongan yang kuat kepada setiap muslim untuk mendakwahkan agama yang dianutnya, yaitu Amar ma’ruf nahi mungkar (memerintahkan berbuat kebajikan dan mencegah yang mungkar). Perintah untuk beramar ma’ruf nahi mungkar sangat banyak di dalam Al Qur’an seperti :
Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imran:104).

8. Bersabar terhadap apa yang menimpa kita.
            Sesungguhnya segala cobaan yang menimpa seorang muslim itu adalah merupakan sesuatu yang mesti terjadi karena itulah bentuk ujian (ikhtibar) dari Allah SWT, apakah ia sabar atau tidak ?, firman Allah SWT:
وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
Artinya: Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).(QS. Luqman:17)
            Sabar secara terminologis berarti menahan diri dari segala sesuatu yang tidak disukai karena mengharap ridha Allah swt.[8] Yang tidak disukai itu tidak selamanya terdiri dari hal-hal yang tidak disenangi seperti musibah kematian, sakit, kelaparan, dan sebagainya, tapi bisa juga berupa hal-hal yang disenangi misalnya segala kenikmatan duniawi yang disukai oleh hawa nafsu. Sabar dalam hal ini berarti menahan dan mengekang diri dari memperturutkan hawa nafsu.[9] Sifat sabar dalam Islam menempati posisi yang isimewa. Karena sifat sabar merupakan sifat mulia yang istimewa, tentu dengan sendirinya orang-orang yang sabar juga menempati posisi yang istimewa.[10]

9. Tidak Menyombongkan diri
            Sifat takabur atau merasa besar dihadapan manusia adalah sifat yang dibenci oleh Allah SWT:
وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
Artinya: Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
            Maksudnya adalah janganlah kamu memalingkan wajahm dari manusia di saat kamu sedang berbicara kepada mereka, atau di saat mereka berbicara denganmu, dengan nada yang mengecilkan dan meremehkan mereka, seraya menampakkan kesombongan dan kepongahanmu di depan mereka. Namun, justru kamu harus merendahkan hati dan menampakkan wajah yang ramah terhadap mereka.[11] Berjala di bumi dengan angkuh maksudnya adalah berjalan dengan sombong, berbangga diri, menampakkan kebesaran dan kekuatan, jangan kamu melakkan itu, karena jika kamu lakukan, niscaya Allah swt akan membencimu. Allah swt tidak menyukai orang-orang yang sombong, bangga atas kemampuan diri dan menampakkan kenggaannya kepada orang lain.[12]

10. Bersikap pertengahan dalam segala hal dan berakhlaq yang baik
            Islam tidak menghendaki sikap Ghuluw (berlebih-lebihan) juga tidak menginginkan untuk bersikap tahawun (meremehkan) dalam segala hal termasuk juga dalam perkara-perkara yang menurut penilaian sebagian orang dianggap kecil seperti sikap berjalan, berbicara dsb. Allah SWT mengatur itu semua sebagaimana firmanNya:
وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ
Artinya: Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.
            Manusia akan mempunyai nilai jika menampakkan akhlaq yang baik, karena tujuan diutusnya Rasulullah SAW selain untuk menyeru kepada Allah ( Ad-dakwah ilallah) adalah untuk menyempurnakan Akhlaq dan budi pekerti. Ajaran akhlaq di dalam      Islam berada di tengah antara yang menghayalkan manusia sebagai Malaikat yang menitik beratkan segi kebaikan dan yang menghayalkan manusia seperti hewan yang menitik beratkan sifat keburukannya saja. Manusia menurut pandangan Islam memiliki dua kekuatan dalam dirinya, kekuatan baik pada hati nurani dan akalnya dan kekuatan buruk pada hawa nafsunya. Manusia memiliki naluri hewani dan juga ruhaniyah Malaikat. Manusia memiliki unsur ruhani dan jasmani yang memerlukan pelayanan masing-masing secara seimbang. Manusia hidup tidak hanya di dunia kini, tetapi dilanjutkan dengan kehidupan di akhirat nanti. Hidup di dunia merupakan ladang bagi akhirat.[13]
            Allah swt memberikan perumpamaan yang menjelaskan tentang keagungan, kebesaran, kaeperkasaan dan nama-nama-Nya yang bagus serta sifat-sifat-Nya yang luhur. Allah menerangkan pula kalimat kalimat-Nya yang sempurna yang tidak mampu diselami oleh seorang makhluk pun. Tidak ada satu pun daya manusia untuk membongkar hakikat kalimat-kalimat Allah, dan tidak satupun kekuatan yang dapat menghitung jumlahnya. Hal ini telah dijelaskan di dalam surah Lukman ayat 27 yang berbunyi:
وَلَوْ أَنَّمَا فِي الْأَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلَامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya: Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujun lautan (lagi) setelah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat-kalimat Allah, sesungguhnya Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.
            Maksud dari ayat di atas adalah seandainya seluruh pepohonan dunia dijadikan pena dan lautan dijadikan tinta, ditambah dengan tjuh lautan lagi setelah lautan yang pertama kering, kemudian pena dan tinta dijadikan alat untuk menulis kalimat-kalimat Allah yang menunjukkan keagungan Allah, sifat-sifat-Nya dan kebesaran-Nya, niscaya pena-pena itu akan pecah berkeping-kepig dan air lautan akan habis, meskipun didatangkan tambahan sebanyak itu pula.[14]

Wallahu A’lam………………





Daftar Pustaka

Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, terjemahan Abu Ihsan al-Atsari, Bogor: Pustaka Ibnu         Katsir, 2008.
Ilyas, Yunahar, Kuliah Akhlaq, Yogyakarta: Lembaga Pengkaji dan Pengamalan Islam,     2009.
Al-Qaradhawi, Yusuf, Ash-Shabri Fi al-Qur’an, Kairo: Maktabah Wahbah, 1989.
------------------, Yusuf, Halal Haram Dalam Islam, terjemahan Wahi Ahmadi dkk, Solo:    Era Intermedia, 2003
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: CV Darus Sunnah,          2002.


                [1] Ath-Thabari XX/134
                [2] QS. Al-Baqarah ayat 83.
                [3] QS: al-Ankabut ayat 8.
                [4] QS: Luqman ayat 14.
                [5] Dr.Yusuf Qaradhawi, Halal Haram Dalam Islam, alih bahasa Wahi Ahmadi dkk, Cet Ke-III (Solo: Era Intermedia, 2003), hlm. 327.
                [6] QS: Al-Ahqaf, ayat 15
[7] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, alih bahasa Abu Ihsan al-Atsari, Cet. Ke-I (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2008), hlm. 153.
                [8] Yusuf al-Qaradhawi, Ash-Shabri Fi al-Qur’an (Kairo: Maktabah Wahbah, 1989), hlm. 8.
                [9] Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, LC., M.A., Kuliah Akhlaq (Yogyakarta: Lembaga Pengkaji dan Pengamalan Islam, 2009), hlm. 134.
                [10] QS. Ali IMran ayat 15-17.
                [11] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, alih bahasa Abu Ihsan al-Atsari, Cet. Ke-I (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2008), hlm. 157.

                [12] Ibid, hlm. 158.
                [13] Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, LC., M.A., Kuliah Akhlaq (Yogyakarta: Lembaga Pengkaji dan Pengamalan Islam, 2009), hlm. 13.
                [14] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, alih bahasa Abu Ihsan al-Atsari, Cet. Ke-I (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2008), hlm. 166.

posted under |

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Labels

Blogger Tricks

Diberdayakan oleh Blogger.

Ads 468x60px

Search

Featured Posts Coolbthemes

Blogger templates

Indonesian Freebie Web and Graphic Designer Resources

About Me

Foto Saya
el-fatihkamil
Mau makan untuk hidup atau hidup untuk makan aku tak peduli....yang jelas saya tidak makan orang.hehehehe^_^
Lihat profil lengkapku

Followers

Text Widget


Recent Comments